Setelah gue pikir-pikir, wuih buanyaak. Banyak orang (termasuk juga gue dulu) pikir mitos tersebut adalah fakta karena turut diperkuat oleh lembaga pendidikan. Ya, bahkan materi pengajaran yang kita dapat di sekolah pun ga luput dari mitos sains. Nah lho!Mitos sains apa aja sih yang masih suka bikin orang terkecoh?
Sebagian mitos lagi mengakar di pikiran masyarakat lewat afirmasi media, seperti jargon-jargon di iklan, majalah, buku, sampe film-film Hollywood. Jargon-jargon ini diulang berkali-kali selama beberapa generasi sampe tertanam ke alam bawah sadar masyarakat. Karena udah sering diulang-ulang, masyarakat dengan mudahnya mengamini, menganggapnya fakta, dan ga mau repot-repot memikirkan kalo itu benar atau enggak. Ya tinggal terima aja lah, toh dari dulu dibilangnya begonoh. Sampai-sampai kalo ada pihak yang mencoba meluruskan mitos yang mereka percaya, pihak itu malah dinyolotin balik, dibilang sok tau lah, nyinyir, dsb. Hahaha.. #ketawangenes
Tapi mitos itu sendiri berawal dari mana sih? Pasti ada proses kan di mana suatu konsep dicetuskan sebelum akhirnya jadi populer, apalagi mitos sains. Biasanya nih, mitos sains itu lahir dari:
1. Salah tafsir temuan sains yang valid
Jurnal sainsnya bilang apa, jurnalis yang meliput bilang apa. Biasanya para jurnalis ini oversimplifikasi konsep yang dipaparkan di jurnal tersebut untuk menciptakan headline yang bombastis atau mengambil kesimpulan hanya dari penggalan-penggalan kalimat. Karena jurnalisnya udah terlanjur gembar-gemborin di media, orang udah keduluan percaya. Pas saintisnya mau klarifikasi balik, beritanya kalah heboh dengan headline bombastis yang di awal.
2. Konsep sains yang udah kedaluwarsa
Padahal udah ada hasil penelitian terbaru yang menggantikan atau menyempurnakan konsep sains yang lama ini. Tapi sepertinya masyarakat terlalu lembam (baca: malas mikir) untuk menerima temuan terbaru.
3. Konsep yang ngakunya ilmiah
Tapi ternyata kalo dicermati metode yang dilakukan, ngaco secara saintifik dan logika berpikir. Bisa saja sampelnya kurang representatif, tidak melalui peer review (ditinjau balik oleh sesama saintis), variabelnya kurang lengkap, seharusnya hanya berkolerasi malah dibilang punya hubungan langsung, dll.
Nah, di tulisan kali ini, untuk nyegerin otak lo yang udah mulai panas karena digempur persiapan ujian mulu, gue mau mengkompilasikan 10 (aja) mitos sains yang masih suka bikin orang terkecoh dan dipercaya secara luas, mungkin termasuk juga lo. Cekidot gan!
1. Pembagian Otak Kanan-Kiri mempengaruhi gaya belajar
Mitos ini gue taruh di nomor 1 karena gue lihat populer banget dan impact-nya cukup luas. Guru-guru di sekolah pun banyak yang percaya dan mempengaruhi anak didiknya. Pada derajat tertentu, menelan konsep ini metah-mentah bisa berbahaya.
Coba aja cermati kalimat-kalimat berikut.
“kamu tuh tipe otak kanan, kayaknya emang lebih cocok masuk IPS”
“anak IPA itu dominan otak kiri”
“pengen sih belajar piano, tapi gue kan anaknya otak kiri ya, kayaknya ga bisa deh kalo disuruh belajar musik dan seni gitu”
Kalimat-kalimat di atas seakan-akan mencoba mengkotak-kotakan, membentuk stereotyping yang menggerus harga dan kepercayaan diri, hingga menghambat potensi seseorang. Lo seperti menghakimi diri lo sendiri dengan label yang bikin diri lo males gerak. Padahal kita tahu, kesuksesan itu adalah resultan dari usaha keras dan konsisten serta mindset yang positif.
Parahnya, kalimat-kalimat di atas didasarkan atas konsep yang keliru. Dikotomi otak kanan-kiri lahir dari salah tafsir sebuah eksperimen sains terhadap otak (split brain experiment) di tahun 1960an. Walaupun ada distribusi kerja di masing-masing bagian otak, faktanya, otak kanan dan kiri kita tidak pernah terisolasi satu sama lain dan selalu bekerja sama ketika melakukan suatu kegiatan apapun. Kak Pras udah pernah mengulas mitos otak kanan-kiri secara lengkap, mulai dari asal mula, berkembangnya mitos, dan dampaknya di artikel ini.
2. Eh belum 5 menit!
Kalo di luar negeri sih, namanya “5 Seconds Rule”, bukannya 5 menit. Gue ga ngerti kenapa di Indonesia jadinya 5 menit. Ga ada juga orang yang nungguin makanan jatuh sampe 5 menit, kan? xD Biasanya kalo makanan jatuh, ya langsung diambil dalam hitungan detik. Trus hap masuk lagi ke mulut. Hii..
“5 Seconds Rule” adalah kepercayaan yang bilang bahwa butuh waktu 5 detik buat bakteri di lantai untuk mengkontaminasi makanan yang jatuh ke lantai. Kalo bisa ambil makanan yang jatuh dari lantai dalam waktu kurang dari 5 detik, makanannya masih bagus buat dimakan karena bakteri belum sempat “menyentuh” makanan tersebut. “5 Seconds Rule” ini tidak lebih dari anjuran supaya kita ga buang-buang makanan.
Dan faktanyaa, sedikit kontak aja dengan lantai, bahkan 1 detik aja, bakteri-bakteri di lantai pasti langsung mengkerubuti makanan yang jatuh itu. Penelitian menujukkan, ga ada perbedaan yang signifikan pada jumlah bakteri pada makanan yang jatuh ke lantai dalam 2 detik dengan jumlah bakteri pada makanan yang jatuh ke lantai yang sama selama 6 detik. Iya, hal sesimpel ini aja ada penelitiannya. Yang neliti dapat hadiah Nobel lagi. Huwoo..
3. Manusia baru make 10% kapasitas otaknya
Mitos otak yang satu ini menyatakan kalo manusia baru memanfaatkan 10% kapasitas otaknya, 90% lagi masih belum dimanfaatkan dengan optimal. Biasanya mitos ini juga dibarengi dengan mitos serupa, seperti “Einstein sudah bisa memanfaatkan otaknya 16%, manusia biasa baru 10%”.
Kalo emang otak lo baru dipake 10%, lo ga akan bisa membaca tulisan gue ini. Fakta bahwa lo lagi segar bugar di depan laptop baca tulisan ini, adalah bukti kalo otak lo sudah berfungsi sepenuhnya. Jika hanya 10% bagian otak lo yang bekerja, lo udah stroke kali.
Sama dengan mitos otak sebelumnya, mitos ini juga lahir dari salah tafsir sebuah eksperimen sains. Mitos ini bisa populer karena seakan memberi pengharapan (palsu) pada pelajar yang nilainya jelek atau pas-pasan bahwa ada cara instan untuk mengaktivasi 90% bagian otak lainnya. Heleh heleh, gue yakin anak Zenius ga ada yang begini ya. Seperti gue sebutkan sebelumnya, usaha keras memang harga mati untuk meraih apa yang kita inginkan. Everything has its price. Einstein sendiri bilang, "I have no special talent. I am only passionately curious."
4. Lidah punya zona-zona untuk mengecap rasa tertentu
Materi ini pasti kalian dapetin pas belajar Biologi di sekolah. Gue aja kadang masih ngajarin materi ini di kelas 8 SMP dan 11 SMA karena tuntutan soal ujian. Gagasan ini menyatakan bahwa lidah sebagai indera pengecap mempunyai area tertentu untuk mengecap rasa yang berbeda.
Dari mana mitos ini lahir? Konsep ini bermula dari sebuah penelitian yang landasannya ga kuat. Pada 1901, seorang ilmuwan Jerman melalukan penelitian terhadap sensitivitas lidah pada 4 rasa yang umum (manis, asam, asin, pahit). Ditemukan bahwa terdapat perbedaan waktu pada bagian2 lidah untuk bisa mendeteksi rasa dari suatu zat makanan. Tapi perbedaan waktunya tipiiis banget. Entah kenapa, terjadi simplifikasi bahwa perbedaan waktu ini dibilang jadi perbedaan sensitivitas.
Padahal, walaupun satu bagian pada lidah bisa mendeteksi sedikit lebih cepat suatu rasa, semua bagian pada lidah bisa bisa merasakan semua jenis rasa dengan level intensitas dan sensasi yang sama.
Sebenarnya gampang banget kalo lo mau membuktikan peta rasa pada lidah itu keliru. Ya coba aja lo taruh garam di ujung depan lidah lo, lo bisa merasakan rasa asin. Taruh gula di pangkal lidah, lo bakal tetap bisa merasakan rasa manis.
Penelitian terbaru yang dilakukan Universitas Colombia (2014) berhasil mengungkap bahwa ada 8.000 sensor yang tersebar di lidah dapat merasakan berbagai rasa secara merata, ga per bagian.
Yang masih menjadi misteri adalah kenapa konsep yang udah kedaluwarsa ini masih diajarin di sekolah. Ga hanya di Indonesia aja, di kurikulum Amerika sana, materi ini masih masuk jadi bahan ajar. Hemhh..
5. Aktivasi Otak Tengah
Menurut deskripsi program Aktivasi Otak Tengah (AOT), otak tengah manusia pada umumnya masih belum aktif. Program ini menawarkan jasa mengaktifkan otak tengah dengan teknologi mutakhir untuk meningkatkan konsentrasi, kemampuan sosial, fisik, kreativitas, dan keseimbangan otak kanan dan kiri padahal ini juga mitos zzz).
Mitos yang satu ini bukan lahir karena salah tafsir temuan ilmiah maupun ilmu yang kedaluwarsa. Mitos ini lahir dari konsep yang ngaku-ngakunya ilmiah, padahal sama sekali tidak berdasarkan ilmu pengetahuan dasar yang valid tentang otak.
Otak tengah adalah penghubung otak depan dan otak belakang. berfungsi mengontrol respon penglihatan, pendengaran, gerakan bola mata dan dilasi pupil, gerakan motorik, kewaspadaan (alertness), serta mengatur suhu tubuh. Sedari kecil, otak tengah kita sudah berfungsi. Gampang aja untuk mengatehaui apakah program AOT ini bener atau enggak. Sesuai dengan fungsinya, kalo bener otak tengah kita masih "tidur” atau belum aktif, berarti pergerakan bola mata jadi abnormal, kena penyakit Parkinson, hingga stroke.
Hebohnya lagi, program Aktivasi Otak Tengah diiringi dengan klaim fantastis, seperti setelah anak diaktvasi otak tengahnya, ia jadi bisa melihat dengan mata tertutup dan jenius dalam hitungan hari. Wah gimana masyarakat awam ga tertarik ya dengan cara instan seperti ini. Apalagi orang tua yang sangat mendambakan anaknya jadi seorang jenius.
6. Manusia (hanya) punya 5 indera
Kita diajarin di bangku sekolah kalo manusia punya 5 indera, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, dan pengecap. Tapi gimana caranya gue bisa merasakan keseimbangan tubuh, akselerasi ketika gue lagi lari, hingga merasakan suhu tubuh naik ketika gue lagi demam?
Nah, ini juga salah satu mitos yang masih masuk ke pelajaran sekolah. Katanya, manusia cuma punya 5 indera. Bahkan ada pula yang bilang ada indera keenam, which is nonsense. Hehehe.
Sistem indera adalah bagian dari sistem saraf yang bertanggung jawab untuk memproses informasi sensorik untuk kemudian dikirim ke otak agar bisa diinterpretasi. Gagasan tradisional “Manusia hanya punya 5 indera” sebenarnya hanya penyederhanaan di bangku sekolah yang lahir sejak jaman Aristoteles. Tapi seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, sains makin bisa mengidentifikasi bahwa faktanya, indera manusia itu banyak lho, bahkan lebih dari 6. Manusia memiliki total hingga 21 indera, meliputi indera tekanan, rasa gatal, suhu, posisi tubuh (proprioception), ketegangan otot, rasa sakit (nociception), keseimbangan (equilibrioception), zat kimia dalam tubuh (kemoreseptor), rasa haus, rasa lapar, waktu, dan lain-lain. 5 indera itu minimum. Mengatakan kalo manusia cuma punya 5 indera, itu seperti meremehkan kerja tubuh kita yang kompleks ini ya.
7. Bahan kimia itu berbahaya
Wah, mitos ini sepertinya udah lumayan mengakar di pikiran masyarakat. Terima kasih pada iklan-iklan produk herbal dan tradisional yang mencoba mengurangi dominasi produk pabrikan modern. Mitos ini bisa mengakar di masyarakat Indonesia, khususnya, karena (gue lihat) 2 faktor, yaitu (1) background budaya Indonesia yang mengandalkan apa-apa langsung ambil dari alam sebelum mengenal produk pabrikan modern dan (2) kadang harga produk pabrikan modern agak mahal, ga pas dengan sebagian besar kantong masyarakat Indonesia. Ini jadi peluang bisnis sendiri bagi para produsen produk “herbal” dan “alamiah”. Selanjutnya, melihat adanya tren di masyarakat Indonesia yang menggemari produk “herbal”, mulailah perusahaan-perusahaan besar meluncurkan produk yang ikut mengaku “herbal”.
Padahal mah imej negatif pada “bahan kimia” dan imej positif pada “herbal” itu misleading ya. Faktanya, semua hal yang ada di sekitar kita adalah bahan kimia. Seluruh tubuh kita tersusun dari jutaan molekul dan senyawa kimia. Benda yang lo gunakan tiap harinya, mulai dari meja, teflon penggorengan, baju, sampe alat elektronik, juga terbentuk dari bahan kimia. Bahkan segala sesuatu yang berasal dari alam, juga bahan kimia. Air yang lo minum, udara yang lo hirup, api yang lo nyalain, hingga sebutir beras yang lo makan, bahan kimia juga kan!?
Bahan kimia bisa jadi berbahaya, ga peduli bahan kimia itu kita langsung dapat dari alam atau udah melalu proses pabrik (yang toh juga berasal dari alam). Suatu bahan kimia bisa jadi berbahaya atau bermanfaat bergantung pada cara dan dosis pemakaiannya. Selain itu, produk herbal yang mengklaim dirinya langsung diperoleh dari alam bisa juga berbahaya, jika tidak melalui proses atau standar kesehatan yang ditetapkan lembaga resmi pemerintah.
8. Minum antibiotik pas demam atau flu, biar cepat sembuh
Guys, ada ga orang terdekat atau anggota keluarga lo, yang dikit-dikit mengandalkan antibiotik ketika sakit ringan?
Wah, kalo ada, lo sebaiknya memperingatkan mereka bahwa yang mereka lakukan bisa jadi keliru. Antibiotik berasal dari kata anti dan bio (hidup). Berarti digunakan untuk membunuh sesuatu yang hidup. Antibiotik, secara definisi, membunuh bakteri. Nah, batuk, sakit telinga, sakit tenggorokan, pilek, flu, dan demam ringan itu disebabkan oleh virus. Antibiotik tidak dapat digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh virus. Walaupun memang dalam beberapa kasus penyakit yang disebabkan oleh virus ini, terkadang berpotensi "mengundang" bakteri, sehingga dalam diagnosa tertentu diperlukan antibiotic.
Tapi secara umum yang mau gua tekankan di sini adalah persepsi yang keliru bahwa antibiotic adalah "obat-segala-penyakit" yang bisa menyembuhkan hampir semua penyakit ringan, termasuk yang disebabkan oleh virus. Kenapa? Coba ingat2 lagi pelajaran Biologi kelas 10. Virus itu bukanlah makhluk hidup. Virus punya materi genetik, tapi tidak bisa melakukan aktivitas kehidupan, seperti metabolisme hingga reproduksi, tanpa bantuan inang. Virus itu berada di tapal batas antara benda mati dan benda hidup. Jadi ga nyambung kan menggunakan antibiotik untuk mengatasi virus?
Minum antibiotik dengan tujuan yang tidak sesuai dengan fungsi dasarnya atau dosis yang ditetapkan dapat menyebabkan bakteri umum lainnya di dalam tubuh menjadi resisten terhadap obat. Hal ini bisa memicu terbentuknya “bakteri super” yang menyebabkan penyakit yang jauh lebih buruk daripada penyakit awal. Ketika dikasih antibiotik pada dosis yang sama, mereka udah ga mempan lagi. Butuh antibiotik dengan dosis yang lebih tinggi lagi.
Antibiotik itu ga bisa sembarangan beli di apotek ya tanpa resep dokter. Namun, sayangnya, kadang ada oknum dokter yang tidak bertanggung-jawab yang suka kasih resep antibiotik untuk pasien dengan gejala sakit ringan. Di sisi lain, terkadang ada juga pasien yang bandel terus langsung minum antibiotic tanpa resep dan diagnosa dari dokter. Dalam konteks ini, penting banget buat pasien untuk mengerti kenapa antibiotik ga bisa mengatasi virus dan juga secara aktif menanyakan pada dokter apakah hasil diagnosanya memang ada potensi pertumbuhan bakteri, karena jika tanpa alasan yang kuat, konsumsi antibiotic justru berpotensi buruk bagi kesehatan jangka panjang.
9. Minum susu secara teratur bisa mengurangi risiko osteoporosis
Dari kecil, kita udah dikasih “doktrin” supaya rajin minum susu karena merupakan sumber asupan kalsium yang bagus untuk kesehatan tulang.
Osteoporosis atau tulang keropos adalah keadaan melemahnya tulang karena ketidakseimbangan antara terbentuknya sel tulang baru dan kerusakan tulang. Orang biasanya kehilangan sel tulang seiring bertambahnya usia.
Mengkonsumsi kalsium dengan cukup dan memaksimalkan cadangan tulang pas tulang lagi aktif-aktifnya tumbuh (hingga usia 30 tahun) memang memberikan fondasi penting bagi masa depan. Tapi hal ini ga mencegah kerusakan tulang di kemudian hari. Kerusakan tulang seiring berjalannya usia adalah hasil dari berbagai faktor, meliputi faktor genetik, kurangnya aktivitas fisik, dan menurunnya kadar hormon dalam tubuh.
Jadi, mengurangi risiko osteoporosis jangan terpaku pada minum susu dan konsumsi kalsium saja. Sudah banyak studi yang menemukan bahwa tidak ada hubungan antara asupan kalsium yang tinggi dengan kurangnya risiko patah tulang. Tapi kurang asupan kalsium tentu ga baik juga dong. Cukup saja, jangan terlalu tinggi, jangan kerendahan pula.
Sumber kalsium pun ga harus terpaku pada susu. Hanya mengandalkan susu sebagai sumber kalsium bisa menimbulkan risiko lain, seperti ada orang yang lactose intolerant, produk susu tinggi akan lemak jenuh yang merupakan faktor risiko penyakit jantung, dan tingginya kadar galaktosa hasil pencernaan susu bisa merusak ovarium dan bisa menyebabkan kanker ovarium. Sumber kalsium lain ada banyak, seperti sayuran hijau (sawi, brokoli, bayam) dan kacang-kacangan.
Faktor lain harus diperhitungkan juga dalam upaya mengurangi risiko osteoporosis. Selain cukup mengkonsumsi kalsium, kita juga dianjurkan untuk cukup dapat vitamin D (paparan sinar matahari yang cukup atau lewat suplemen), vitamin K (pada sayuran hijau), dan olahraga beban secara teratur. Seperti jalan kaki, menari, jogging, angkat beban, naik tangga, badminton/tenis, dan hiking. Aktivitas fisik semacam ini memberikan tekanan pada tulang yang dapat mempertahankan kepadatan tulang sepanjang hidup.
10. Golongan darah mempengaruhi kepribadian
Nah, ini juga salah satu mitos yang sering berseliweran di Instagram, Path, dsb. Ceritanya, golongan darah itu mempengaruhi personality seseorang. Sebenarnya gagasan ini ga jauh berbeda dari tipe kepribadian berdasarkan zodiak sih.
Gampang banget untuk tau kalo ini cacat secara logis dan penuh bias. Kepribadian dan karakter manusia itu kan ada banyak. Gimana bisa karakter yang beragam itu dikotak-kotakkan pada hanya 4 tipe golongan? Katanya golongan darah AB itu jenius dan suka menghasilkan ide cemerlang. Tapi gue tau banyak kok orang yang jenius tapi ga bergolongan darah AB.
Selain itu, sifat orang kan dinamis, bisa berubah seiring berjalannya waktu, bisa jadi karena proses pendewasaan atau kejadian tertentu dalam hidup. Katanya gol. Darah O ga bisa tepat waktu. Misalnya ada si Otong bergolongan darah O, suka ngaret. Tapi karena kemudian dia masuk dunia kerja dan nyadar kalo lelet itu bisa mempengaruhi karir, dia pun belajar untuk tepat waktu dan akhirnya bisa jadi pribadi yang disiplin. Nah, apa bisa dibilang Otong ganti golongan darah?
Biasnya adalah kalo ada tipe kepribadian di kartun2 golongan darah yang pas beneran dengan karakter diri atau teman lo, kesesuaian itu diheboh-hebohin trus di-share di timeline socmed, “Ih beneran ya, gue gol. darah B itu emang suka blak-blakan”. Coba aja ada karakter di kartun2 itu yang ga cocok dengan dirinya, udah diabaikan gitu aja, ga diseriusin. Dan itu dilakukan hampir kebanyakan orang yang suka lucu-lucuan baca tipe kepribadian lewat golongan darah. Makanya sistem ini bisa jadi populer.
Mirip kan dengan logika ngaco dan bias pada ramalan bintang/horoskop yang pernah gue bahas di ini.
Tapi agak berbeda dengan ramalan zodiak, tipe kepribadian per golongan darah ini ada bumbunya sedikit. Karena dibagi berdasarkan golongan darah, orang mengira ini lebih akurat karena disangkut-pautkan dengan biologis manusia. Padahal di kelas 8 SMP atau 11 SMA, kita belajar bahwa golongan darah itu ditentukan dari ada atau tidaknya antigen tertentu di permukaan sel darah merah yang nantinya dapat memicu respon imun jika kita menerima darah dari golongan yang ga kompatibel dengan darah kita. Di sisi lain, kepribadian atau sifat manusia ditentukan oleh susunan gen yang ada di setiap sel tubuh manusia. So, mendasarkan golongan darah sebagai penentu kepribadian seseorang itu keliru kan, sis?
Penelitian khusus pun telah dilakukan dan ditemukan bahwa ga ada hubungan antara golongan darah dengan personality seseorang.
Sumber:
Originally written by: Fanny Rofalina
Originally published by: zenius.net
0 komentar
Post a Comment